DOKTER BODOH

Pada suatu hari libur diadakan kerja bakti. Warga kampung bergotong royong membersihkan rumah-halaman dan lingkungan. Ada yang membawa sapu lidi, cangkul. Dalam waktu sekitar dua jam tugas sudah dianggap selesai. Teh dan makanan sekedarnya telah tersedia. Hidangan yang kecil itupun tidak lekas habis. Sambil melepaskan lelah, beberapa orang angkat bicara. Kadang-kadang gurau gurau yang mencoba membangkitkan gelak-tawa. Entah menyinggung perasaan orang lain, tidak dipikirkan.

Seseorang sambil tertawa kecil berkata kepada saya: “Putra bapak itu “Dokter Bodoh”!!!!.
Semua yang hadir heran. Suasana yang tampaknya agak tegang, segera tenang kembali, sebab pembicara itu melanjutkan: “Putra bapak kan sudah berpuluh tahun menjadi dokter. Tapi aneh, belum punya rumah apalagi mobil. Padahal pasiennya tidak sedikit. Teman saya yang baru praktek beberapa tahun saja, rumahnya gedung dan mobilnya keluaran tahun ini”.

Beruntunglah saya tidak perlu menyanggah, sebab seseorang yang termasuk banyak pengalaman, membantah: “siapa tahu, rumahnya itu warisan dari orang tuanya, mobilnya mobil kreditan. Negara kita ini kan dibanjiri kendaraan dari jepang yang pasarannya lagi lesu. Siapa saja boleh ambil kredit. Kalau putra bapak ini mau, pasti bisa ambil kredit, bahkan duapun bisa.”

“Ambil kredit mudah, “saya mengiyakan “tapi bagaimana mengansurnya? Apalagi dua mobil ?.

Pembicara terdahulu tidak mau menyerah. Katanya “O, mudah. Tinggal hitung saja pasiennya tiap hari berapa orang. Kalikan tiga puluh. Sebulan kan ada tiga puluh hari. Misalkan setiap hari ada sepuluh pasien, sebulan ada tiga ratus dikalikan dengan Rp. 20.000. Putra bapak itu praktek lebih dari sepuluh tahun. Jadi bisa mengumpulkan uang 10 x 12 x Rp. 6.000.000 = Rp. 720.000.000. tidak perlu kredit. Tunai pun mampu. Bahkan sekaligus empat mobil, dengan harga Rp. 150.000.000, sebuah.”

Terpaksa saya menjelaskan: “Teman, dokter itu manusia biasa. Tidak mungkin kerja terus menerus, perlu ada istirahat. Maka ada hari Minggu, ada malam hari. Dan prakteknya itu hanya setelah jam kantor. Paling cepat dapat dimulai jam empat sore hari sampai pukul tujuh malam.

Lagi pula, mampukah pasien membayar Rp. 20.000??? belum lagi untuk membeli obat di apotek. Kebanyakan pasien minta diberi obat oleh dokter. Maka perlu diperhitungkan: harga obat disamping ongkos periksa. Untuk membayar Rp.5.000, saja sudah terasa berat. Maka dapat dimaklumi, andaikata ada pasien yang mengatakan: “ Minta maaf, dok, saya cuma punya sekian.”

Tidak semua orang mau memikirkan, bahwa untuk membeli spoit, obat, sewa tempat praktek dan tenaga pembantu, dokter itu harus mengeluarkan uang.

Memang anggapan kebanyakan orang: dokter itu termasuk orang yang sudah mapan sekali, uang melimpah, rumah gedung mewah dan punya mobil luks.

Janganlah kita mengukur kehidupan orang dengan mobil. Tidak manusiawi, kalau orang bercita-cita menjadi dokter agar punya mobil dan hidup mewah. Lalu untuk mencapai cita-citanya itu memeras pasien. Orang sakit sudah menderita. Yang didambakannya ialah kesembuhan. Betapa beratnya penderitaannya, kalau masih ditambah dengan beban biaya pemeriksaan dan obat yang diluar kemampuan, yang tujuannya hanya untuk memperkaya dokternya.

Masyarakat kita sudah pandai, sudah banyak pengetahuan. Tahu pula harga obat. Karenanya orang mampu menilai, kualitas dokternya. Apakah seorang dokter itu dokter yang materialistiss, atau dokter yang mengabdikan ilmu dan keahliannya untuk kepentingan masyarakat.

sBagaimana penilaian masyarakat terhadap anak kami, terserah. Apakah anak kami dianggap oleh masyarakat sebagai Dokter Bodoh, hanya karena belum punya rumah sendiri dan belum juga punya mobil murahan sekalipun ????

Sekali lagi terserah masyarakat ?????!!!!!!!…….

Copyright © 2008 - Kampoeng Awam - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template